BAB I
Pendahuluan
A. Latar belakang
Pluralitas agama sekarang ini telah menjadi suatu keniscayaan dan men-desak agama-agama, termasuk kekristenan untuk menghadapi dan mengubah paradigma teologinya. Semua agama menurut Eka Darmaputera, tidak hanya didesak untuk memikirkan sikap praktis untuk bergaul dengan agama yang lain, tetapi juga didesak untuk memahami secara teologis apakah makna kehadiran agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang lain itu[1]. Mengembangkan teologi agama-agama bukan tanpa kesulitan dan resiko. Tantangan internalnya adalah teologi tradisional (Barat) yang berakar kuat dalam gereja serta resistensi fundamentalisme kristen. Secara eksternal, pluralisme agama dicurigai sebagai misi terselubung kekristenan untuk mempertobatkan yang lain dan sekaligus keengganan mengakui bahwa kebenaran agamanya relatif. Sikap penolakan terang-terangan terhadap pluralisme agama dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) lewat fatwa hasil Munas VII tahun 2005, karena paham ini bertentangan dengan ajaran Islam[2].
Sekalipun muncul kecurigaan, perlawanan dan penolakan terhadap pentingnya pluralisme agama dan dialog bukan berarti sikap demikian disetujui dan menyurutkan tekad mengembangkan pluralisme agama dan dialog. Makalah ini berusaha mendeskripsikan dan menganalisis sejauh mana relasi kekristenan dengan agama-agama lain, khususnya agama Islam. Benarkah gereja telah dan masih bersikap superioritas terhadap agama-agama lain sampai sekarang atau memang dalam tubuh gereja sudah terjadi perubahan sikap mendasar? Bukan tidak mungkin jika ditelisik lebih jauh, dalam kekristenan sendiri tidak terdapat kesatuan dalam menyikapi pluralisme agama.
Selanjutnya, bagaimana sebenarnya kekristenan mengatasi kebenaran mutlaknya saat berjumpa dengan agama-agama lain serta mencari titik temu sehingga kehadiran agama-agama bukan sebagai sumber masalah bangsa (problem maker), tetapi sebagai pemberi solusi atas masalah-masalah sosial yang muncul (problem solver)? Lebih jauh lagi, sejauh mana pluralisme agama memberi ruang pada partikularitas atau keunikan dari masing-masing agama dan tujuan-tujuan semacam apakah yang hendak dicapai dalam dialog.
Akhirnya pada bagian refleksi, penulis mengutarakan pentingnya pluralisme agama dan dialog untuk dikembangkan guna menanggulangi masalah kemanusiaan kontemporer, menghadirkan kedamaian dan sekaligus dapat saling memperkaya kehidupan beriman dalam konteks majemuk Indonesia.
BAB II
ISI
PLURALISME AGAMA DAN DIALOG:
PERSPEKTIF DAN RELEVANSINYA DALAM MEMBANGUN KEHIDUPAN BERSESAMA SECARA DAMAI DALAM KONTEKS MAJEMUK INDONESIA.
A. Superioritas keagamaan
Kekristenan dapat dikatakan berkembang di Eropa dengan bungkus kebudayaan Barat dan menganggap agama-agama bukan Kristen di Asia lebih rendah nilainya dibanding-kan agama Kristen, sehingga tidak perlu dipertim-bangkan. Orang Kristen (Barat) menanggung beban khusus untuk membawa terang ke dalam dunia gelap[3]. Para
misionaris telah didoktrin sedemikian rupa untuk memberangus kekafiran dalam agama-agama lain dan menyelamatkan jiwa-jiwa mereka bagi Kristus.
Misionaris Kristen ibarat dokter yang mendatangi pasiennya yang sedang sakit (penganut agama-agama lain)[4]. Secara khusus, umat Islam dianggap ”orang sesat yang dihormati” kemudian menjadi ”orang sesat yang tidak disegani”. Ketika jalan perang dinilai tidak memadai untuk memantapkan penjajahan, studi intensif dilakukan dan umat Islam dianggap ”penganut agama terbelakang” yang perlu diperadabkan[5]. Mentalitas perang salib, mengakibatkan umat Islam dipandang sebagai musuh yang harus ditaklukkan; dan penaklukkan yang paling efektif adalah dengan mengkristenkan mereka[6].
Penjajahan Belanda atas Indonesia telah memberi citra negatif bahwa kekristenan adalah kaki tangan penjajah. Gereja, khususnya zending dan orang Kristen telah menikmati hak-hak istimewa yang tidak didapati sama sekali oleh orang Islam. Tuduhan seperti itu didasarkan kemajuan kuantitatif orang Kristen, termasuk dari kalangan Islam, dan secara kualitatif dengan meningkatnya kesejahteraan sosial-ekonomis orang Kristen dan tampilnya tokoh-tokoh Kristen dalam panggung politik.
Ketidakadilan dirasakan umat Islam ketika pemerintah Belanda dengan politik etisnya memberi subsidi kepada pihak zending/gereja dalam mengurusi program pendidikan, kesehatan dan pertanian, sehingga mengo-barkan kebencian dan kemarahan orang Islam[7]. Sejak masa kemerdekaan sampai sekarang, ekspresi kebencian dan kemarahan terhadap orang Kristen dilampiaskan antara lain dengan cara pembatasan siar agama, pengrusakan dan pembakaran gedung gereja[8].
B. Paradigma teologi Kristen terhadap agama-agama lain
Isu sentral dalam hubungan antara kekristenan dan agama-agama lain adalah apakah umat dari agama lain itu akan diselamatkan sama seperti kesela-matan yang diterima orang Kristen. Perspektif historis memperlihatkan semacam evolusi paradigma teologi Kristen menyikapi kehadiran agama-agama lain. Paradigma atau tipe sikap teologis dalam kekristenan terhadap isu kemajemukan agama menurut Alan Race dapat dikategorikan sebagai (1) eksklusivisme, (2) inklusivisme dan (3) pluralisme[9] yang dapat dimengerti sebagai berikut ini.
1. Paradigma Eksklusivisme
Paradigma eksklusivisme berangkat dari dua ide pokok yang bertolak belakang. Di satu sisi, agama-agama lain lain tak lepas dari keberdosaan manusia yang mendasar dan karena itu tidak memiliki kebenaran. Di lain pihak, hanya Kristuslah yang menyediakan jejak paling absah menuju keselamatan. Kristus bersifat unik, normatif dan hakiki bagi keselamatan. Dasar biblis utamanya[10] adalah Yohanes 14:6, ”Akulah jalan, kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang sampai kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” dan Kisah Para Rasul 4:12, ”Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita diselamatkan,” serta surat 1 Yohanes 5:12, ”Barangsiapa memiliki Anak, ia memiliki hidup; barangsiapa tidak memiliki Anak, ia tidak memiliki hidup.”
Paradigma ini dapat dikenali dalam sikap Gereja Roma Katolik (GRK) pra- Konsili Vatikan II yang menempatkan gereja sebagai pusat keselamatan dengan istilah extra ecclesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan). Paus Boniface VIII dengan tegas berkata: ”Kita dituntut oleh iman untuk meyakini dan mempertahankan bahwa ada satu Gereja yang kudus, katolik dan apostolik; kita dengan tegas mempercayainya dan tanpa ragu mengakuinya; di luarnya tidak ada keselamatan atau pengampunan dosa.” Akibatnya, GRK bersikap tertutup dan kurang memandang positif agama-agama lain[11].
Paradigma ini dapat ditemui juga di kalangan Protestan. Karl Barth dalam bukunya Church Dogmatics menegaskan bahwa agama adalah bentuk ketidak-percayaan (Religion as Unbelief) dan mustahil dapat mencari dan mengenal Allah. Dengan pendekatan teologis a priori, Barth dapat mengatakan hanya ada satu agama yang benar yaitu agama Kristen karena Allah menghendakiNya demikian. Sebaliknya betapapun baik dan benarnya agama-agama lain tampaknya, namun tetap saja mereka salah dan tak selamat karena terang Allah tidak mengenai mereka.
Dalam Sidang Raya Dewan Gereja-gereja se-Dunia di Nairobi tahun 1975, seorang peserta sidang dengan paradigma eksklusivisme berkomentar: ”Para pemimpin gereja sangat peduli dengan nasib orang-orang yang miskin dan menderita, tetapi tidak memperhatikan nasib 2.700 juta orang yang akan binasa (orang-orang non-Kristen)”. Jelas pandangan demikian mengambarkan kemus-tahilan berdialog dengan agama-agama lain. Mereka yakin bahwa semua orang non-Kristen akan binasa (masuk neraka), dan karena itu mereka harus ditolong dengan cara memberitakan Injil kepada mereka[12].
2. Paradigma inklusivisme
Paradigma inklusivisme melampaui eksklusivisme dengan mengatakan bahwa keselamatan Allah berlaku universal dan hadir dalam agama-agama lain dengan tetap mengakui finalitas Yesus Kristus. Yesus Kristus menjadi pemenuhan final bagi agama-agama lain. Inklusifisme menolak segala bentuk konfrontasi antar agama lain dengan kekristenan. Malah sebaliknya, berusaha secara kreatif agama-agama lain diintegrasikan ke dalam refleksi teologis kristiani. Inklusivisme berusaha memadukan dua pengakuan teologis: bekerjanya anugerah Allah serta paham keselamatan agama-agama lain dan keunikan anugerah Allah dalam Yesus Kristus[13].
Paradigma ini dianut oleh GRK lewat Konsili Vatikan II yang meninggalkan cara berpikir eksklusivistis-eklesiologis menuju cara berpikir inklusivistis-universalistis. Keterbukaan baru terhadap agama-agama lain berhubungan erat dengan pengalaman GRK mengenai kekerasan massif dan keinginan untuk memperbarui diri sesuai perubahan zaman[14]. Dalam hal ini perlu dicatat sumbangsih Karl Rahner sebagai insinyur atau arsitek utama sikap Kristen inklusivistis pasca Konsili Vatikan II[15]. Rahner berpendapat bahwa orang Kristen bukan hanya bisa, tetapi harus menganggap agama-agama lainnya sebagai ”sah” dan merupakan ”jalan keselamatan”[16].
Mengapa demikian? Karena Allah menawarkan anugerah Allah kepada semua orang di seluruh dunia. Benar bahwa keselamatan ada dalam Yesus Kristus, namun gereja tidak boleh mengutuk agama lain sebagai palsu dan tidak mempunyai keselamatan. Walaupun tidak sesempurna yang dimiliki gereja, namun karena anugerah yang universal itu, maka keselamatan dalam Kristus pun ada di sana walaupun tidak memakai nama Kristus. Jadi dalam agama-agama lain, Kristus yang menyelamatkan itu pun ada di sana tanpa bernama Kristus. Rahner menyebutnya sebagai Kristus tak bernama, (anonymous Christ) dan oleh sebab itu penganut agama-agama lain sebenarnya adalah juga orang-orang Kristen tanpa nama (anonymous Christians). Implikasinya bahwa tugas misioner gereja bukan mempertobatkan dan menjadikan mereka Kristen, melainkan berusaha menyadarkan orang-orang beragama lain tentang hadirnya Kristus yang menyelamatkan di tengah mereka. Dengan menyadari hal itu, maka mereka sudah menjadi orang Kristen dan pengikut Kristus dalam agama mereka sendiri tanpa harus menjadi orang Kristen dan menjadi anggota gereja. Keselamatan pun ada di luar gereja[17].
Paradigma inklusivisme bersikap positif terhadap agama-agama lain karena agama-agama lain dipahami sebagai jalan keselamatan. Pemahaman ini memberi ruang amat luas bagi munculnya kehidupan antar-iman yang dialogis. Gereja memiliki penghargaan besar terhadap agama-agama lain. Perjumpaan agama-agama tidak lagi diwarnai konfrontasi frontal, tetapi mengupayakan titik-temu. Para penganut agama lain tidak dicap sebagai kafir, melainkan sebagai saudara yang harus dikasihi. Nostra Aetate mencatat, ”Kita tidak dapat sungguh-sungguh menyapa Allah, Bapa dari semua, jika kita menolak memperlakukan semua manusia dalam sebuah persaudaraan yang diciptakan sebagaimana ia ada dalam citra Allah”.
Walaupun paradigma ini terbuka, namun konsep Kristen anonim dapat menjadi penghalang besar bagi munculnya sebuah dialog yang jujur dan seimbang.; justru hanya menciptakan jalan buntu bagi sebuah dialog yang bermakna. Konsep ini terjebak pada imperialisme teologis yang tidak adil karena menekankan normativitas Kristus bagi agama-agama lain.Konsep ini dinilai tidak memiliki dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara teologis, karena tidak mampu memandang agama-agama lain sebagai yang unik dan setara dengan agama Kristen. Agama-agama lain masih tetap dipandang rendah sehingga dialog yang terjadi adalah meminjam istilah Knitter, dialog antara gajah dan tikus[18].
3. Paradigma Pluralisme
Jika eksklusivisme dan inklusivisme tidak memadai bagi kekristenan dalam relasi dengan agama-agama lain, maka paradigma pluralisme menjadi pilihan terbaik. Paradigma ini merupakan kritik atas eklesiosentrisme dan kristosentrisme yang muncul dalam eksklusivisme dan inklusivisme. Pluralisme menggunakan pendekatan teosentris yang menekankan pada kehendak universalitas Allah untuk menyelamatkan seluruh manusia. Paradigma pluralisme ini tidak satu sebab dikembangkan banyak orang seperti John Hick, Paul F. Knitter, Gordon D Kaufmann, Wilffred Cantwel Smith, Rosemary Ruether, dsbnya[19]. Di sini penulis mengangkat pluralisme yang digagas oleh Paul F. Knitter.
Pendekatan pluralisme menurut Knitter berangkat dari keprihatinan utama bagaimana kepelbagaian agama dapat berdialog secara jujur dan terbuka sehingga dapat memberikan sumbangsih penting dalam menanggulangi penderitaan manusia dan kerusakan lingkungan yang akut. Tidak pada tempatnya dalam relasi dengan agama-agama lain mengutarakan bahasa absolutis seperti: hanya satu-satunya, definitif, superior, absolut, final, tak terlampaui dan total untuk menjelaskan kebenaran yang ditemukan dalam Injil Yesus Kristus. Tanpa mengklaim bahwa semua agama itu setara (equal), umat Kristen dengan mentalitas korelasional berpendapat bahwa sejak permulaan semua pihak harus saling mengakui persamaan hak di dalam dialog antar-agama sehingga setiap penganut agama berhak berbicara, atau membuat klaim, dan peserta lain membuka hati dan pikiran terhadap kebenaran baru dari partner dialognya.
Di dalam semua agama bagi Knitter terdapat suatu ”kesamaan yang kasar” (rough parity). Maksudnya, bukan berarti semua agama pada dasarnya memberi-takan hal yang sama, tetapi bahwa karena perbedaan mereka dari agama Kristen, agama-agama lain mungkin juga sama efektif dan berhasilnya dalam membawa para penganutnya kepada kebenaran, perdamaian dan kesejahteraan bersama Allah. Dengan kata lain, dengan teologi korelasional umat kristen berpegang pada kemungkinan dan mendorong kemungkinan bahwa Sumber kebenaran dan transformasi yang mereka sebut Allah dalam Yesus Kristus memiliki lebih banyak kebenaran dan bentuk-bentuk transformasi lainnya yang mampu dinyatakan daripada yang telah dinyatakan dalam Yesus. Teologi pluralis atau korelasional tidak hanya mengakui adanya berbagai perbedaan antar-agama yang mencolok bahkan tak terbandingkan, tetapi juga mengakui nilai dan keabsahan dari dunia yang serba berbeda ini. Agama-agama lain bukan hanya sangat berbeda, namun bisa juga sangat bernilai[20].
Secara teologis, umat Kristen mengatakan bahwa mereka percaya kepada suatu Allah yang benar-benar mau menyelamatkan semua orang yaitu Allah dari Yesus Kristus, Allah ”kasih yang murni tanpa terikat”, yang merangkul semua dan menghendaki kehidupan dan keselamatan. Allah merangkul semua manusia yang dikasihiNya di dalam dan melalui tidak hanya persekutuan gerejawi, tetapi juga dalam persekutuan dari penganut agama-agama lain. Umat Kristen bisa dan harus mendekati agama-agama lain bukan hanya dengan harapan bahwa mereka mungkin (possibly) akan menemukan kebenaran dan kebaikan tetapi bahwa mereka lebih mungkin (probably) menemukannya. Dengan demikian teologi pluralistik mendorong agar umat beragama untuk mengkomunikasikan dan membagikan kandungan yang bernilai dari agama mereka. Agama-agama harus berdialog. Kebenaran setiap agama bukan untuk dirinya sendiri dan mengabaikan yang lain, tetapi untuk dipertemukan sehingga terjadi proses belajar yang memperdalam kebenaran masing-masing. Hakikat agama jelasnya relasional dan dialogis. Jadi semua agama perlu berbicara dan bertindak bersama. Perbedaan dalam masing-masing agama tidak menghalangi hubungan antar sesama di antara mereka[21].
Keunikan Yesus (Kis 4:12) seharusnya tidak ditafsirkan secara statis. Masalah keunikan Yesus tetap terbuka terhadap berbagai pemahaman baru. Di sini umat Kristen bisa terus menegaskan dan memberikan kepada dunia tentang Yesus sebagai benar-benar (truly) ilahi dan juruselamat, namun mereka tidak perlu bersikeras bahwa Dia satu-satunya (solely) ilahi dan juruselamat. ”Benar-benar, namun bukan satu-satunya”, merupakan upaya baru untuk menegaskan pentingnya Yesus dalam dunia kepelbagaian agama. Secara teologis berarti di satu pihak kita memberitakan Yesus sebagai Juruselamat, dan di pihak lain bisa terbuka terhadap kemungkinan bahwa ada pribadi lain yang bisa diakui umat Kristen sebagai anak Allah. Kristologi pluralistik semacam ini mengizinkan dan mensyaratkan umat Kristen untuk sepenuhnya percaya kepada Kristus, namun sekaligus bisa terbuka terhadap umat lainnya yang mungkin memiliki berbagai peran yang sama pentingnya. Secara gerejawi, gereja dapat saling memberi dan menerima dalam interaksinya dengan agama-agama lain dengan pesan relevan dan penting[22].
Teologi pluralistik mensyaratkan dialog sebagai elemen penting dalam berhadapan dengan agama-agama lain. Dialog antar-agama bukan bertujuan menciptakan satu agama tunggal dan final, melainkan kepelbagaian yang semakin berkembang dan berarti dalam agama-agama. Dialog korelasional ini harus disertai dengan tanggungjawab global dan karena itu pendekatannya bukanlah eklesiosen-tris, kristosentris atau teosentris, melainkan soteriosentris.
Dasar bersama bagi dialog antar-agama adalah soal penderitaan manusia dan kerusakan ekologi atau dengan kata lain kesejahteraan manusia dan lingkungan.[23] Dasar bersama dialog ini penting ditetapkan agar tidak terjadi kelesuan atau kesepian moral sehingga dapat mengambil keputusan etis bersama demi kesejahteraan manusia dan Bumi[24]. Terobosan kongkret yang dapat dibuat adalah merumuskan suatu etika global bagi tindakan bersama. Etika global ini dapat menjadi kenyataan jika dilakukan dialog global terlebih dahulu sehingga akhirnya tanggung jawab global dapat dilakukan bersama. Di sini menjadi religius berarti menjalani kehidupan yang bertanggung jawab secara global. Dengan tanggung jawab global yang menjadi tugas etis bersama, maka semua umat beragama bisa lebih saling menghidupkan dan memperbarui[25].
C. Dialog dan tujuannya
Pluralisme agama memberi peranan penting bagi terselenggaranya dialog agar tercapai saling pengertian yang mendalam. Dialog bukanlah suatu kegemaran intelektual melainkan suatu keharusan[26]. Dialog sejatinya dilakukan dalam kesetaraan, par cum pari (setara dengan setara). Dalam dialog tidak boleh prinsip diabaikan dan tidak boleh sekedar mencari kedamaian palsu (irenicisme), sebalik-nya harus ada kesaksian yang diberi dan diterima guna saling memajukan satu sama lain di dalam perjalanan pencarian dan pengalaman keagamaan; dan saat yang sama menyingkirkan prasangka, sikap intoleran dan kesalahpahaman.
Kalaupun seseorang mengalami pertobatan lewat dialog, kenyataan itu harus dapat diterima semua pihak secara positif dan wajar. Dialog mensyaratkan sikap konsisten, terbuka, kerendahan hati dan keterus-terangan sehingga dialog dapat memperkaya dan memperbarui masing-masing pihak. Dialog meminta keseimbangan sikap, kemantapan dan menolak indeferentisme (paham yang menyamakan semua agama sama) dan tidak menghendaki teologi universal[27]. Dalam dialog setiap orang harus diterima sebagaimana ia memahami dirinya sendiri. Oleh sebab itu, masing-masing hanya dapat berbicara untuk dirinya sendiri berdasarkan posisinya sediri. Tentu posisi ini tidak boleh menjadi dogma kaku, melainkan ia harus dinamis sesuai situasi yang berubah[28].
Beragam bentuk dialog dapat dipraktekkan seperti
(1) dialog kehidupan di mana masing-masing memelihara solidaritas dan kebersamaan;
(2) dialog melalui percakapan di mana para ahli mempercakapkan ajaran agama mereka masing-masing;
(3) dialog spiritualitas lewat ibadah dan doa bersama dari beragam agama; dan
(4) dialog dalam tindakan lewat kerjasama mengusahakan kedamaian dan keadilan[29]. Tujuan dalam dialog dapat ditetapkan misalnya
· memupuk persauda-raan lintas agama,
· merayakan bersama hari raya agama dan nasional,
· menghindari sikap intoleran dan mencegah konflik komunal, dan
· mengupa-yakan keadilan sosial dengan merancang berbagai pendekatan konstruktif terhadap masalah-masalah sosial[30].
BAB III
PENUTUP
A. kesimpulan
Di dalam semua agama bagi Knitter terdapat suatu ”kesamaan yang kasar” (rough parity). Maksudnya, bukan berarti semua agama pada dasarnya memberi-takan hal yang sama, tetapi bahwa karena perbedaan mereka dari agama Kristen, agama-agama lain mungkin juga sama efektif dan berhasilnya dalam membawa para penganutnya kepada kebenaran, perdamaian dan kesejahteraan bersama Allah. Dengan kata lain, dengan teologi korelasional umat kristen berpegang pada kemungkinan dan mendorong kemungkinan bahwa Sumber kebenaran dan transformasi yang mereka sebut Allah dalam Yesus Kristus memiliki lebih banyak kebenaran dan bentuk-bentuk transformasi lainnya yang mampu dinyatakan daripada yang telah dinyatakan dalam Yesus. Teologi pluralis atau korelasional tidak hanya mengakui adanya berbagai perbedaan antar-agama yang mencolok bahkan tak terbandingkan, tetapi juga mengakui nilai dan keabsahan dari dunia yang serba berbeda ini. Agama-agama lain bukan hanya sangat berbeda, namun bisa juga sangat bernilai
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdullah, M. Amin, “Kebebasan Beragama atau Dialog Antar-agama”, dalam
J.B. Banawiratma, dkk., Hak Asasi Manusia Tantangan bagi Agama,
Jogyakarta: Kanisuis, 1999.
Adiprasetya, Joas, Mencari dasar bersama: Etik global dalam kajian
post-modernisme dan pluralisme agama, Jakarta: Gunung Mulia dan STT Jakarta, 2002.
Aritonang, Jan S. “Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam di Indonesia”, dalam
Panitia Penerbitan Buku Kenangan Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann, Balitbang PGI, Agama dan Dialog: Pencerahan, Pendamaian dan Masa depan. Punjung tulis 60 tahun Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Darmaputera, Eka. “Prediksi dan proyeksi isu-isu teologis pada dasawarsa
sembilanpuluhan: Sebuah introduksi”, dalam Soetarman SP, dkk., Fundamentalisme, Agama-agama dan Teknologi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
Darmaputera, Eka, “Teologi Persahabatan antar umat Beragama”, dalam Karel
Erari, et.al., Keadilan bagi yang lemah, Buku Peringatan Hari Jadi ke-67 Prof. Dr. Ihromi, MA, Jakarta, tanpa penerbit, 1995.
[1] Eka Darmaputera, “Prediksi dan proyeksi isu-isu teologis pada dasawarsa sembilanpuluhan:
Sebuah introduksi”, dalam Soetarman SP, dkk., Fundamentalisme, Agama-agama dan Teknologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 14-15.
[2] Kompas 28 Juli 2005.
[3] Einar M. Sitompul, Gereja menyikapi perubahan, (
hlm. 4.
[4] Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agma: Dialog multi-agama dan tanggungjawab
global, diterjemahan oleh Nico A. Likumahuwa, (
hlm. 4-5
[5] Einar M. Sitompul, Ibid., hlm. 5
[6] Jan S. Aritonang, “Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam di Indonesia”, dalam
Panitia Penerbitan Buku Kenangan Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann, Balitbang PGI, Agama dan Dialog: Pencerahan, Pendamaian dan Masa depan. Punjung tulis 60 tahun Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), hlm. 182.
[7] Jan S. Aritonang, Ibid., hlm. 187.
[8] Ibid., hlm. 194-197.
[9] Joas Adiprasetya, Mencari dasar bersama: Etik global dalam kajian
post-modernisme dan pluralisme agama, (Jakarta: Gunung Mulia dan STT Jakarta, 2002)
[10] Linwood Urban, Sejarah ringkas pemikiran Kristen, diterjemahkan oleh Liem
Sien Kie, (Jakarta: Gunung Mulia, 2003), hlm. 478.
[11] F.X.E. Armada Riyanto, Dialog Agama dalam pandangan Gereja Katolik,
(Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 23.
[12] D.C. Mulder, “Perkembangan Dialog Antar Agama”, dalam Th. Sumartana, dkk.,
Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogjakarta: Penerbit Dian/Interfidei, t.th), hlm. 241.
[13] Joas Adiprasetya, Ibid., hlm. 64.
[14] Leo D. Lefebure, Penyataan Allah, Agama dan Kekerasan, diterjemahkan oleh
Bambang Subandrijo, cet. 2, (
[15] Joas Adiprasetya, Ibid.
[16] Paul F. Knitter, Ibid., hlm. 7
[17] Victor I. Tanja, Spiritualitas, Pluralitas dan Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1994), hlm. 123.
[18] Paul F. Knitter, No Other Name?; A Critical Survey of Christian Attitudes Towards the
World Religions, (Maryknoll, New York: Orbis Book, 1995), hlm hlm. 142
[19] Lihat uraian lengkapnya dalam Jhon Hick dan Paul F Knitter, Mitos Keunikan Agama Kristen. (
.
[21] Ibid., hlm. 49.
[22] Ibid., hlm. 50-51.
[23] Ibid., hlm. 81.
[24] Ibid., hlm. 83.
[25] Ibid., hlm 102-152.
[26] Olaf H. Schumann, Menghadapi Tantangan Memperjuangkan Kerukunan, kata
pengantar oleh Komarudin Hidayat, (
[27] F.X.E. Armada Riyanto, Ibid., 113-115.
[28] Olaf H. Schumann, Ibid., hlm 122-123.
[29] Victor I. Tanja, Ibid., hlm. 4-6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar