BAB 1
A. Pendahuluan
Perkembangan selama ini menunjukkan bahwa sains didominasi oleh aliran positivisme, sebuah aliran yang sangat menuhankan metode ilmiah dengan menempatkan asumsi-asumsi metafisis, aksiologis dan epistemologis. Menurut aliran ini, sains mempunyai reputasi tinggi untuk menentukan kebenaran, sains merupakan ”dewa” dalam beragam tindakan [sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain]. Agama hanyalah merupakan hiasan belaka ketika tidak sesuai dengan sains, begitu kira-kira kata penganut aliran positivisme
.Menurut sains, kebenaran adalah sesuatu yang empiris, logis, konsisten, dan dapat diverifikasi. Sains menempatkan kebenaran pada sesuatu yang bisa terjangkau oleh indra. Sedangkan Agama menempatkan kebenaran tidak hanya meliputi hal-hal yang terjangkau oleh indra tetapi juga yang bersifat non indrawi. Sesuatu yang datangnya dari Tuhan harus diterima dengan keyakinan, kebenaran di sini akan menjadi rujukan bagi kebenaran-kebenaran yang lain. Sains dan Agama berbeda karena mungkin mereka berbeda paradigma
Masih kuat anggapan dalam masyarakat luas yang mengatakan bahwa ” Agama” dan ”ilmu” adalah dua entitas yang tidak dapat dipertemukan. Sebab keduanya mempunyai wilayah masing-masing, terpisah antara satu dan lainnya, baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan.Dengan ungkapan lain, ilmu tidak memperdulikan Agama dan Agama tidak memperdulikan ilmu [M. Amin Abdullah, 2004, ”Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama [Dari Paradigma
Positivistik-Sekjularistik ke Arah Teoantroposentrik-Integralistik]”, dalam M.Amin Abdullah, dkk., Integrasi Sains Islam Mempertemukan Epistemologi Islam dan Sains [Pilar Relegia dan SUKA Press, Yogyakarta, hlm. 3]. Selain itu, ”banyak pemikir sangat yakin bahwa Agama tidak akan pernah dapat didamaikan dengan sains. Menurut mereka, apabila saudara seorang ilmuwan, sulitlah membanyangkan bagaimana saudara secara jujur juga dapat serentak saleh-beriman, setidak-tidaknya dalam pengertian percaya akan Tuhan. Alasan utama mereka bahwa Agama jelas-jelas tidak dapat membuktikan kebenaran ajaran-ajarannya dengan tegas. Sedangkan sains dapat melakukan hal itu, yaitu dapat membuktikan kebenaran temuannya [John F. Haught, 1995, ”Science and Relegion, From Conflict to Conversation, Pulist Press, New York., terj. Fransiskus Borgias, 2004, ”Perjumpaan Sains dan Agama, dari Konflik
Menurut Holmes Rolston [selanjutnya ditulis Rolston], memang Agama mesti diintegrasikan atau dipadukan dengan wilayah-wilayah kehidupan manusia, tampaknya tak memerlukan penjelasan lebih jauh. Hanya dengan inilah Agama dapat bermakna dan menjadi rahmat bagi pemeluknya, bagi umat manusia, atau bahkan keseluruhan alam semesta. Ketika membincangkan ilmu dan Agama, ”integrasi” tampaknya menjadi kata kunci untuk mengungkapkan sikap yang dianggap tepat, khususnya dari sudut pandang umat beragama
. Maka Rolston, mengatakan seorang agen yang mengungkapkan diri dan berhubungan dengan dunianya tidak akan pernah meninggalkan sejumlah ”struktur makna”. Lebih lanjut Rolston, menegaskan bahwa hidup yang ”berorientasi pada makna” merupakan suatu bentuk Agama, sementara ilmu sejak dari ”logika Newtonian”nya memang lebih merasa nyaman dengan membahas efek-efek dan sebab-sebab material
. Rolston, jika ilmu mengenai manusia hanya menjangkau paradigma- paradigma yang berlaku dalam ilmu alam, apakah nantinya ilmu tersebut cukup kompeten menjadi sebuah studi? Bisakah paradigma tersebut menjadi sebuah ilmu yang bermakna? Apakah ilmu tersebut hanya menjadi ilmu experimental ataukah experiental, ilmu alam sekaligus ilmu manusia? Paradigma macam apa ilmu semacam itu? Jika aspek biologis memang cukup relevan dibahas dalam kajian keagamaan, sejauh mana logika manusia mengenai “nyawa” [yunani: psyche] atau perantara [prilaku] nantinya bisa diterima dalam kajian antropologi teologis. Rolston, mengutif nasehat Socrates “Kenalilah dirimu sendiri”. Namun pertanyaan Rolston,terus berlanjut, yaitu dengan apa diri kita dipahami. Apakah dengan ilmu kepribadian? Ataukah ilmu Agama dan filsafat dapat digunakan untuk memahami diri kita? Ataukah manusia tak lebih dari numpang lewat saja di dalamnya
Secara umum buku Science and Religion ini, membahas keterpaduan antara pandangan keagamaan dan ilmu.
Holmes Rolston, 1987, Science and Religion, A Critical Survey, Random House,
1. Zainal Abidin Bagir, 2005, Pendahuluan : Bagaimana Mengintegrasikan” Ilmu dan Agama?, dalam Buku Integrasi Ilmu dan Agama, Interpretasi dan Aksi, Mizan, Bandung, hlm.17-18.
BAB II
PEMBAHASAN
A . AGAMA DAN PSIKOLOGI
Agama menimbulkan makna yang berbeda-beda pada setiap orang. Bagi sebagian orang, Agama adalah kegiatan ritual. Sebagian yang lain, Agama adalah berkhidmat kepada sesama manusia. Bagi yang lain, Agama adalah berperilaku yang baik. Psikologi adalah salah satu di antara ilmu yang memusatkan perhatian pada ”perilaku manusia”, maka Psikologi seharusnya berkepentingan dengan Agama, yang disepakati sangat mempengaruhi perilaku manusia ²
Rolston³, mengatakan bahwa seorang agen yang mengungkapkan diri dan berhubungan dengan dunianya tidak akan pernah meninggalkan sejumlah makna. Oleh karena itu, menurut Rolston, hidup yang berorientasi pada makna merupakan suatu ”bentuk Agama”, sementara ilmu sejak dari logika Newtoniannya memang lebih merasa nyaman dengan membahas efek-efek dan sebab-sebab material Dengan mendikusikan pikiran, terutama mengaitkan antara ilmu dan Agama, Rolston, bermaksud membahas tiga aliran dalam Psikologi yang masing-masing mengajukan sejumlah paradigma mengenai bagaimana manusia dan masing- masing bersinggungan dengan Agama. Ketiga aliran tersebut, yaitu psychoanalysis Freudian, Psikologi behavioral dan Psikologi humanis Untuk itu, pembahasan makalah ini difokuskan pada tiga aliran Psikologi yang oleh Rolston dikaitkan
dengan Agama
1. Agama dan Psikoanalisis Freudian
Agama dan sains dalam bidang Psikologi untuk pertama kalinya dilontarkan Sigmund Freud, yang terkenal sebagai bapak psikoanalisis. Freud [keturunan Yahudi] dengan sangat tegas menyatakan ketidak percayaannya terhadap Agama Menurutnya, Agama merupakan ilusi, delusi, pengekspresian dari harapan masa kanak-kanak terhadap ketakutan dari bahaya-bahaya kehidupan. Tokoh ateisme ini
2. Jalaluddin Rakhmat, 2005, Psikologi Agama, Sebuah Pengantar, Mizan, Cet. III, Bandung, hlm.8
3. Holmes Rolston, 1987, op.cit, hlm. 151.
Dalam praktek menghadapi kliennya menemukan bahwa terdapat kesamaan antara tingkah laku orang yang beragama dengan tingkah laku orang yang menderita ”obsesif neurotis”, salah satu ”abnormalitas” dalam tingkah laku. Dengan pemikirannya seperti itu, Freud akhirnya menanggalkan Agama “Yahudi” dan menyatakan “psikoanalisis” sebagai panutannya. Freud, dapat mempengaruhi orang lain dan bahkan pemikirannya mengilhami dunia di sekitarnya. Kemudian, beredarlah label dalam masyarakat saat itu bahwa seseorang yang meninggalkan Agama adalah seorang ”intelektual” dan ”ilmiah” sedangkan yang menyandang Agama dicap memiliki ”patologi” [penyakit]4
Sejalan dengan hubungan antara ilmu dan Agama, dalam sejarhnya psikologi pernah berperang melawan Agama, sehingga Agama menyambutnya dengan perlawanan yang gencar. Mula-mula ilmu, melalui Copernicus, yang melancarkan serangan cosmology, dengan mengatakan manusia tidak hidup di pusat alam semesta. Darwin menyerang dengan pukulan biologis, dengan mengatakan bahwa manusia bukanlah makhluk suci, tidak ”bersifat Ilahi”, melainkan sekedar binatang saja. Maka kini, dengan teori yang dikemukakan Freud, kita menderita serangan dalam bidang psikologis, gebrakan yang paling merendahkan dari semuanya, yakni kita adalah manusia tidak lagi mengusai jiwa kita sendiri, artinya manusia yang tidak menjadi majikan dari pikirannya sendiri
. Dengan pendekatan kausalitas, Rolston, mengatakan bahwa ilmu Freud bersifat nonmetrik sekaligus nonstatistik. Ilmun Freud, tidak didasarkan pada kajian yang diarahkan pada manusia normal sebagai subyeknya, tetapi manusia yang abnormal. Rolston, mengatakan bahwa kajian yang dilakukan Freud, lahir dari pengalaman ”klinis” pada ”orang-orang sakit”. Model kajian Freud ini dikembangkan di klinik, dan diproyeksikan untuk kehidupan normal. Menurut Rolston, hasil teori- teori Freud, bisa jadi sangat sesuai dalam kasus ” Psikologi abnormal” dan kurang bisa bekerja dengan baik pada subjek mental yang sehat. Freudianisme bisa jadi adalah suatu teori tentang pikiran manusia yang sakit, dan bukan tentang mahlukyang normal Rolston, memang tak ada kritik yang bisa menerima semua spekulasi Freud.
Menurutnya, sudah biasa dalam tahap awal berdirinya suatu ilmu untuk terlebih dahulu menemukan fantasi aneh yang diramu dengan hipotesis-hipotesis subur, seperti halnya keyakinan Kepler muda terhadap kesucian matahari yang istimewa,
4. Ibid, 159 dan Baca, Jalaluddin Rakhmat, 2005, Psikologi Agama, Sebuah Pengantar, Mizan, Cet. III, Bandung, hlm.144-163
Kepercayaan mistis telah membimbing Dmitri Mendeleev dalam penemuannya mengenai table periode atom,dan Auguste Comte meluncurkan ”sosiologi sebagai suatu ilmu dengan menobatkan dirinya sebagai Paus Kemanusiaan”. Pada kasus Freud, seperti yang terjadi pada ilmu-ilmu lainnya, kita harus memisahkan konteks temuannya dari justifikasi berikutnya, dan menguji usulannya dengan kritis, apabila ia memang memberikesempatan pada kita untuk melakukan itu. Maka menurut Rolston, yangpaling utama yang perlu dikaji dalam kasus ini, adalah mengenai asal-usul Agama Mengenai padangan Agama sebagai proyeksi dan ilusi Psikologi, Rolston, mengatakan pikiran tidak sadar kita menjelaskan ilusi mengenai Bapak di surga [secara histories semula merujuk pada tuhan-tuhan lalu kemudian menjadi satu Tuhan] yang akan bertemu dengan teror alam, yang menyelamatkan kita dari kematian dan memperbaiki privasi budaya. “Ketika individu yang tengah tumbuh menemukan bahwa ia ditakdirkan tetap menjadi seorang anak selamanya, di mana ia selalu bertindak dengan perlindungan dari kekuatan superior asing, ia meminjam kekuatan-kekuatan tersebut untuk dilekatkan pada sosok ayahnya; ia menciptakan tuhan yang ia takuti untuk dirinya sendiri, sosok yang harus ia ambil hatinya, sosok yang ia percayai untuk melindungi dirinya sendiri. Maka pembelaan terhadap ketidakberdayaan kanak-kanak merupakan gambaran yang ia pinjamkan pada reaksi dewasa yang tak tertolong dan harus diakuinya – suatu reaksi yang membentuk Agama”
mengenai sejarah asal-usul Agama, dilanjutkan dalam Moses and Monotheism,
cultural Freud menegaskan Agama sebagai ilusi. Freud, juga menandai Agama sebagaimana yang akan kita lihat sebagai delusi psikotis dan kompulsi neurotis. Ilusi, kata Freud, tidak dengan sendirinya bertentangan dengan fakta. Delusi bertentangan dengan realitas, dan ilusi boleh jadi dapat diwujudkan. Ilusi ditandai, kata Freud, dengan khusus, yakni berasal dari keinginan. Kepercayaan disebut ilusi bila pemuasaan keinginan menjadi “faktor penting dalam motivasinya”. Menginginkan atau memuaskan keinginan adalah keinginan membayangkan objek yang mengurangi tegangan dan ilusi muncul dari imajinasi
Freud menemukan “asal-usul ide-ide keagamaan secara psikis”. Ide-ide yangselanjutnya menjadi ajaran itu bukanlah renungan pengalaman atau hasil akhir suatu pemikiran; ide-ide tersebut merupakan ilusi, penyelesaian yang paling tua,
5. Ibid, hlm. 160
6. Ibid, hlm. 160
paling kuat sekaligus memuat harapan-harapan paling mendesak dari manusia. Rahasia dari kekuatan mereka terletak pada kekuatan harapan-harapan tersebut
. Maka dalam pandangan ini, manusia menciptakan Tuhan dan bukan sebaliknya. Freud mengakui bahwa ia hanya menemukan asal-usul ide mengenai Tuhan, dan menganggap bahwa ide tersebut bisa jadi benar. Namun ia juga meyakini bahwasetelah kita ditunjukkan asal-usul keyakinan Agama, kita memindahkan semua alasan yang masuk akal demi untuk membenarkan bahwa Tuhan memang benar- benar ada.
Dengan ilmu psikiatri yang dimilikinya, Freud berusaha menghancurkan ilusi ini, sambil meyakini bahwa ilmunya memang benar. Freud mempercayakan bahwa untuk melawan alam, kita harus bersandar pada ilmu. Dengan demikian menurut Freud, Agama “tak lain adalah gejala Psikologi yang diproyeksikan ke dalam dunia eksternal.” “Faktor-faktor dan hubungan-hubungan psikis dalam ruang tidak sadar” “dipantulka dalam konstruksi realitas supernatural yang kelak ditakdirkan untuk digantikan dengan ilmu dalam bentuk ” Psikologi tak sadar”. Maka kata Freud, kita
mentransformasikan metafisika ke dalam metapsikologi”
. Dari sini kita tidak dapat lagi berdalih tentang ilmu yang bebas nilai. Rolston, mengatakan bahwa psikoanalisa Freudian bukanlah analisis ”nonteologis”, tetapi psikoanalisanya adalah analisis ”antiteologis” Terkait dengan rasionalitas, Agama dan motive-motive yang tak disadar. Rolston, mengatakan bahwa ”pikiran tidak sadar” sangat sulit untuk disepakati, sebab tidak memiliki bahan empiris ataupun penilaian introspektif untuk mengujinya. Kondisi ini membuat psikoanalisis berpikir untuk membawa kesadaran ke permukaan material agar dapat melihat apa yang ada di dalamnya dan secara rasional menyesuaikan dengan kesadaran tersebut. Psikologi yang mendalam perlu bekerjasama dengan teori-teori dari ilmu lain, dengan teologi yang memuat postulasi teoritis mengenai entitas-entitas yang tak teramati. Hal ini juga berlaku dalam mencermati “pikiran tidak sadar, Tuhan dan neutrinos”. Menurut Rolston, teori Freudian terbukti ulet. Tetapi pada sisi lain Rolston, mengatakan teori Freudian perlu dicurigai karena teori ini berusaha mengakomodir sedemikian banyak masalah yang teramati dengan menyuguhkan pertimbangan mengenai pikiran yang tidak kita sadari Freud terkadang merendah dengan keterbatasan psikoanalisa. Menurutnya, “psychoanalisis tidak pernah mengklaim telah menyuguhkan suatu teori komplit mengenai mentalitas manusia secara umum.
Tetapi Freudian mengharapkan psichonalisis menawarkan sesuatu yang bisa diterapkan untuk melengkapi dan mengkoreksi pengetahuan yang diperoleh dengan cara lain. Namun tak ada teori yang sangat santun untuk mendukung semua fenomena sadar, tidaklah seperti pada kenampakannya, melainkan berupa bertopeng kepura-puraan dan berselimut dalam determinisme tidak sadar dan tujuan-tujuan diri. Rolston, mengatakan jika teori pikiran tidak sadar diterima, maka berikutnya akan ada implikasi dalam mencermati perbuatan manusia yang teramati itu perlu diujikan pada perbuatan abnormal, mungkin saja justru berada di luar wilayah temuan ini. Selain itu Rolston, juga mengatakan teori ini perlu diuji implikadan kongruensinya terhadap perbuatan manusia normal, termasuk perbuatan yang terkait dengan Agama dan ilmu. Rolston, mengatakan kita perlu menguji teori-teori tersebut dengan mempertentangkannya dengan pengalaman keagamaan
Teori psichologis, yang menjelaskan asal-usul keyakinan Agama bisa jadi benar adanya atau sebagian di antaranya benar dan tidak saling bertabrakan. Bisa jadi, ide tentang Tuhan datang ke dalam sejumlah pikiran orang-orang theistic sebagai suatu proyeksi tidak sadar melalui analogi dan perluasan dari pengalaman mereka mengenai ”sang bapak di dunia”
Dengan demikian, teori Freud, justru mempertegas bahwa pengalaman pengasuhan merupakan sumber alami dari konsep Tuhan. Tetapi kata Rolston, keyakinan Agama memiliki fungsi yang jauh lebih dalam daripada yang kita sadari dan sejumlah keyakinan membentuk tingkatan-tingkatan yang tak terucapkan. Tuhan bisa jadi menggunakan pikiran tidak sadar sebagai suatu sebab sekunder untuk mendukung ide mengenai diri-Nya. Seperti yang diyakini Carl Jung, bahwa Tuhan menjadi sedemikian memikat ”melalui pikiran tidak sadar”
dalam beberapa hal, ketidaksadaran merupakan generator ide dan terkadang mendatangkan sejumlah inspirasi. Katakan saja, suara Tuhan bisa jadi “menggelembung” dari ketidaksadaran dan dimediasi oleh ”simbol-simbol mistis”, baik dalam anak-anak maupun orang dewasa. Namun menurut Rolston, kita melakukan kesalahan genetic jika kita bingung mempertimbangkan asal-usul keyakinan anak-anak dengan penilaian valid orang dewasa. Katakan saja, ayah bisa jadi merupakan konteks ditemukannya ide mengenai Tuhan, namun di sini, kita belum mencapai konteks justifikasi.
Kita harus menemukan dahulu apakah ada dan di dalam bentuk apa suatu ide bisa dituntut bisa menjelaskan pengalaman secara logis
2. Agama dan Ilmu Perilaku [bahavioral science]
Setelah Freud, dalam sejarah aliran Psikologi kita mengenal behaviorisme. Behaviorisme dengan salah satu tokohnya Watson menyatakan bahwa kita tidak mungkin meneliti pengalaman “spiritual” karena hal itu tidak dapat dibuktikan secara empiris dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan keabsahannya. Bagi Watson, pengalaman “spiritual” tidak akan pernah menjadi data sains karena sains modern dibangun di atas dasar empirisme, sesuatu yang bisa diamati dan diuji. Berdasarkan asumsi ini, Psikologi yang awalnya mempelajari tentang jiwa beralih meneliti tentang tingkah laku manusia
Kata Rolston, ketika Freud membahas tirani pikiran tidak sadar, John B. Watson mengusulkan konsep human science tanpa ada unsur pikiran di dalamnya, ia mengatakan “ Psikologi merupakan ilmu perilaku [behavioral]”. Rolston, mengatanan kajian Watson tidak lagi menggunakan istilah kesadaran, mental, pikiran, muatan, verifiable introspektif, imaji dan sebagainya. Kajian ini dapat dilaksanakan dengan istilah “stimulus” [S] dan “respon” [R], dengan istilah pembentukan kebiasaan, integrasi kebiasaan dan sebagainya. Menurut Rolston, pembicaraan tentang ”stimulus” dan ”respons” paling diminatai dalam pembahasan Psikologi dan secara praktis justru mengabaikan teori ”kesadaran”
dalam rangka menjadikan Psikologi sebagai ilmu alam, behaviorisme memisahkan diri dengan “konsep kesadaran”. Sebab “seorang behavioris tidak dapat menemukan kesadaran dalam ruang uji ilmiahnya. Mungkin saja, ia tidak menemukan bukti apapun akan adanya kesadaran“. Menurut Rolston, manifesto revolusioner ini yang telah dikembangkan menjadikan “ Psikologi kehilangan ruhnya,
lalu kehilangan pikiran dan selanjutnya kehilangan kesadaran. Dengan demikian, kata Rolston, suatu hal yang tak dapat dibantah, yaitu Psikologi tetap memiliki konsep prilaku”
Mengenai stimulus, respon dan hidup yang disadari. Rolston, mengatakan bahwa dalam pengertian Psikologi, sesuatu dianggap “berprilaku” hanya jika respon mereka bisa dikondisikan. Maka dengan dorongan dan motivasi, mereka bisa mempelajari bagaimana memodofikasi perilaku. Pembelajaran evolusioner berada dalam cakupan genetic dan antar generasi, namun ketika evolusi menjangkau kompleksitas individu, maka orang bisa belajar dari pengalamannya sendiri. Kapasitas ini mengemuka pada bentuk awal dalam konsep planaria dan berkembang dalam konsep kapasitas manusia untuk beradaptasi. Mengenai pandangan batiniah, kalangan penganut behavioris memperingatkan bahwa mereka tidak memiliki akses ilmiah untuk mengkajinya. Kaum behavioris mengatakan bahwa tidak bisa benar-benar mewujudkan Psikologi, namun mereka hanya dapat mewujudkan ilmu behavioral [prilaku]. dalam mode if-then, terlebih dahulu mengamati stimulus [S] kemudian respon [R], artinya input lingkungan pada organisme dan output organisme terhadap lingkungannya
Oleh karena itu, perilaku secara gradual menunjukkan arah penguatan, semacam pencarian otomatis terhadap target, hanya saja berlangsung dalam bentuk yang lebih rumit. Penambahan prilaku [operan] dipancarkan secara kebetulan dan acak, dan diseleksi oleh lingkungan. Ada pengkondisian operan atau pembentukan prilaku. Prilaku disebabkan oleh pelatihan stimulus. Maka kelonggaran apapun dalam prinsip S-R ternyata dipukul rata, dan organisme dipahami secara kaidah sebab-akibat. Dengan demikian, ada prilaku yang akan diperkuat atau malah ditinggalkan dan dengan kemungkinan yang tinggi, organisme bisa diprediksikan dan dikendalikan. Maka dalam suatu sistem psikologi, respon terhadap stimulus dapat diramalkan dan demikian pula, stimulus terhadap respon dapat diramalkan pula
Mengenai logika behaviorisme, Rolston, mengatakan apabila kita mencoba untuk mengikuti logika berpikir behavioris, maka model behavioris memiliki sisi kebenaran tertentu. Katakan saja, kalangan behavioris memuji rasionalitas. Mereka bangga akan status ilmiah dari keyakinan mereka, dan seringkali menganggap
”prilaku keagamaan” sebagai tindakan kasar. Namun keistimewaan apa yang menjadi dasar kekhususan keyakinan mereka, karena di sini, semua keyakinan teolog dan ilmuwan harus dipampang agar bisa dikritisi teori-teorinya? Apa sih yang didesakkan oleh teori-teori behavioris, jika memang desakan hanya dimasukkan dalam jadwal penguatan kausalitas? Di manakah letaknya alasan yang mendesak itu? Patut dilihat bagaimana Skinner mengalami kesulitan ketika membujuk kita untuk meyakini pandangannya karena pilihan yang dikemukakannya memang menyesatkan. Dengan demikian, Rolston, mengatakan bahwa di antara sekian prilaku manusia, yang paling kompleks adalah ”pembelajaran dalam bidang ilmu dan Agama”. Tetapi menurutnya, setelah mengusir “fiksi kuno mengenai kehidupan mental”, kalangan behavioris justru kehilangan otoritas dalam menilai teori-teori mereka sendiri, mereka justru dikritik tidak cukup memadahi bila bersaing dengan
Sedangkan mengenai bahavioral dan Agama, Rolston, menyatakan bahwa anugerah yang diterima manusia, setelah rasionalitas, moralitas dan nilai, adalah kemampuan untuk mencintai. Kebajikan ini seringkali diidentikkan oleh teolog sebagai tanda suci hadirnya Tuhan dalam diri manusia. Namun jika cinta yang kita miliki satu sama lain direduksi menjadi output yang merespon stimulus kausalitas, maka manusia nyaris sulit disebut manusia dan tak lagi tersisa kesucian dalam dirinya. Tetapi menurut Rolston, yang ingin dikemukakan adalah apa yang oleh kalangan teolog disebut sebagai ”cinta tulus”, ”cinta suci” untuk bebas dipilih dan dianugerahkan pada pihak lain? Menurutnya, cinta semacam itu muncul dan manusia mungkin saja merespon atas dasar panggilan perasaan saling membutuhkan satu sama lain, suatu stimulus dan manusia lalu mencintai sebagai wujud responnya. Manusia tidak menjalankan sumberdaya sendiri, namun dengan mengambil doa suci. Maka, untuk menghadirkan ”cinta tulus” ini akan menjadi kisah fiksi belaka. Tak ada doa kecil, tak ada bangsawan, yang ada hanyalah kausalitas ilmiah. Rolston, mengatakan menurut definisi Karl Barth yang nantinya akan diuji, Tuhan adalah ”Yang Maha Suci” yang bebas mencintai dan manusia adalah anak- anak Tuhan, yang membayangkan Tuhan karena mereka mencintai dan bebas. Namun menurut Rolston, ada gengsi bahwa behaviorisme berpikir dan cinta harus dianggap tidak koheren, dan karenanya perlu disingkirkan dari manusia Suatu pandangan mekanis dan pasif tentang perbuatan manusia telah ”mensekulerkan” hidup, mengabaikan atau menyangkal dimensi yang ”disakralkan”. Pada sisi kausalitas, Agama tampak seperti suatu penguat sejarah. Fungsi ini telah dijalankan oleh bentuk-bentuk kelembagaan di mana Agama merupakan suatu pembentuk prilaku. Hal ini seperti suatu efek, bahwa Agama bagi seseorang merupakan respon terhadap suatu stimulus ”sociorelijius”. Oleh karena itu, kepercayaan Agama, seperti misalnya, keyakinan bahwa hidup itu sacral, adanya ampunan suci dalam Kristus atau keyakinan bahwa dunia adalah ciptaan Tuhan, ”tidak bisa dipercayai secara rasional”, karena kepercayaan-kepercayaan tersebut merupakan produk penguatan-penguatan yang membentuk sebab-sebab yang diperlukan oleh kepercayaan tersebut. Maka menurut Rolston, selama Agama klasik dianggap sebagai pembentuk prilaku dan penentu perbuatan normative, maka Agama - Agama tersebut dinilai kaum behavioris telah berfungsi, tidak sekedar menjadi ajaran naïf yang tak efektif, tak ilmiah terutama karena penekanannya pada penggunaan penjelasan mental dan tahayul, dan karena Agama dianggap sebagai dampak ide-ide ilusi dari agensi manusia dan tanggung jawab. Maka Rolston, menyatakan bahwa Skinner mengklaim, “Tuhan merupakan pola arketip dengan suatu fiksi yang penjelas”
Menurut Rolston, Agama - Agama klasik tidak memuat kode-kode moral tertentu
yang mempertahankan nilai-nilai kelompok, dan dalam beberapa hal, kode-kode
moral tersebut dipelihara keberadaannya. Agama klasik juga memuat ”taboo” dan
”dogma” yang sesekali terhubung dengan kode-kode tersebut, atau memberikansangsi pada saat hilangnya penguatan yang lebih rasional
Rolston, mengatakan prilaku Agama semacam itu bisa dieliminir dengan prilaku yang lebih ilmiah.Tegasnya, respon etika positif tidak tersambung dengan dukungan keagamaan dan dapat dicapai oleh perbuatan manusia yang direkayasa secara ilmiah, kehidupan yang lebih baik diupayakan dengan prilaku yang lebih baik melalui ilmu behavioral. Di sini, ilmu behavioral cukup melioristic. Melalui ilmu ini, kita dapat lebih cepat lagi mewujudkan masyarakat yang lebih humanis. Ilmu behavioral menjadi penyelamat pengganti, dan mengajukan utopia-utopianya serta model-model kehidupan yang lebih baik [Walden Two] dalam kerajaan Tuhan. Menurut Skinner, “Kita memiliki teknologi fisik, biologi dan behavioral yang diperlukan untuk menyelamatkan hidup kita”
Mengenai Psikologi Kognitif, manusia sebagai prosesor kognitif. Rolston, menyatakan, bahwa penyederhanaan behaviorisme radikal belakangan ini telah membelokkan Psikologi pada kognisi. Menurutnya, bisa jadi hal ini masih terlalu dini untuk menyebutkan tren ini sebagai suatu paradigma Psikologi, apalagi membahas dampaknya terhadap aqidah Agama. Model Psikologi perlu digambarkan sebagai perangkat cibernetik. Namun (kata pakar kognitivis yang lebih ilmiah), kita tetap bisa menerapkan model-model tersebut secara empiris. Kita bisa memperlihatkan hasil
kita berdasarkan rata-rata statistic dan ekperimen yang berulang
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
Agama menimbulkan makna yang berbeda-beda pada setiap orang. Bagi sebagian orang, Agama adalah kegiatan ritual. Sebagian yang lain, Agama adalah berkhidmat kepada sesama manusia. Bagi yang lain, Agama adalah berperilaku yang baik. Psikologi adalah salah satu di antara ilmu yang memusatkan perhatian pada ”perilaku manusia”, maka Psikologi seharusnya berkepentingan dengan Agama, yang disepakati sangat mempengaruhi perilaku manusia
Agama dan sains dalam bidang Psikologi untuk pertama kalinya dilontarkan Sigmund Freud, yang terkenal sebagai bapak psikoanalisis. Freud [keturunan Yahudi] dengan sangat tegas menyatakan ketidak percayaannya terhadap Agama Menurutnya, Agama merupakan ilusi, delusi, pengekspresian dari harapan masa kanak-kanak terhadap ketakutan dari bahaya-bahaya kehidupan. Tokoh ateisme ini
b. Saran
dengan mempelajari psikologi agama diharapkan kita mampu menyikapi berbagai macam gejolak yang sering terjadi pada masyarakat luas, dan sangat diharpkan kepada mahasiswa/i agar bisa memberikan pengertian pada masyarakat luas, bahwa inti dari mempelajari ilmu psikologi agama, bukanlah untuk mencari kesalahan agama-agama lain, melainkan untuk mencari suatu soludi dalam memecahkan problema dalam agama.
DAFTAR PUSTAKA
- Yumi, Resensi “Bertanding dan Bersanding”, Judul Buku : Psikologi Agama, Sebuah Pengantar, Penulis : Djalaluddin Rakhmat Penerbit, Mizan,
- Sigmund Freud, The Future of an Illusion, in Complete Psychological Works, vol. 21,
- Sigmund Freud, Psychopathology of Everyday Life, Complete psychological Work, vol.6 hlm 258-59., dalam Holmes Rolston, 1987,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar