Selasa, 20 Mei 2008

MAKALAH PSIKOLOGI AGAMA DENGAN JUDUL :DEFINISI AGAMA , TUHAN, SPIRITUAL, KEPERCAYAAN

BAB 1

PENDAHULUAN

Manusia adalah suatu mahluk somato-psiko-sosial dan karena itu maka suatu pendekatan terhadap manusia harus menyangkut semua unsur somatiK, psikologik, dan social.[1]

Psikologi secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang jiwa”. Dalam Islam, istilah “jiwa” dapat disamakan istilah al-nafs, namun ada pula yang menyamakan dengan istilah al-ruh, meskipun istilah al-nafs lebih populer penggunaannya daripada istilah al-nafs. Psikologi dapat diterjamahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu al-nafs atau ilmu al-ruh. Penggunaan masing-masing kedua istilah ini memiliki asumsi yang berbeda.

Psikologi menurut Plato dan Aristoteles adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir.Menurut Wilhem Wundt (tokoh eksperimental) bahwa psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari pengalaman-pengalaman yang timbul dalam diri manusia , seperti penggunaan pancaindera, pikiran, perasaan, feeling dan kehendaknya.[2]

Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi

Belajar psikologi agama tidak untuk membuktikan agama mana yang paling benar, tapi hakekat agama dalam hubungan manusia dengan kejiwaannya , bagaimana prilaku dan kepribadiannya mencerminkan keyakinannnya Mengapa manusia ada yang percaya Tuhan ada yang tidak , apakah ketidak percayaan ini timbul akibat pemikiran yang ilmiah atau sekedar naluri akibat terjangan cobaan hidup, dan pengalaman hidupnya.

A. Latar belakang masalah

Agama adalah juga fenomena sosial. Agama juga tak hanya ritual, menyangkut hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya belaka, tapi juga fenomena di luar kategori pengetahuan akademis. Sebagian manusia mempercayai agama, namun tidak pernah melakukan ritual. Yang lain mengaku tidak beragama, namun percaya sepenuhnya terhadap Tuhannya. Di luar itu semua, kita sering menyaksikan, dalam kondisi tertentu --semisal kesulitan hidup atau tertimpa musibah-- manusia cenderung berlari kepada agama. Sebaliknya, pada saat dirinya hidup dalam kondisi normal, mereka seringkali tidak peduli terhadap agama, bahkan mengingkari eksistensi Tuhannya.

Berangkat dari fenomena demikian, psikologi agama merupakan salah satu cara bagaimana melihat praktek-praktek keagamaan.

Sebagai gejala psikologi, agama rupanya cukup memberi pengertian tentang perlu atau tidaknya manusia beragama. Bahkan bila dicermati lebih jauh, ketika agama betul-betul tak sanggup lagi memberi pedoman bagi masa depan kehidupan manusia, kita bisa saja terinspirasi untuk menciptakan agama baru, atau setidaknya melakukan berbagai eksperimen baru sebagai jalan keluar dari berbagai problem yang menghimpit kehidupan.

B. Perumusan masalah

Adapun masalah yang akan dibahas didalam ini adalah tentang definisi-definisi dan arti-arti dari psikologi agama, juga bagaimana psikologi agama berperan dalam kehidupan,

Juga bagaimana Psikologis atau ilmu jiwa mempelajari manusia dengan memandangnya dari segi kejiwaan yang menjadi obyek ilmu jiwa yaitu manusia sebagai mahluk berhayat yang berbudi. Sebagai demikian, manusia tidak hanya sadar akan dunia disekitarnya dan akan dorongan alamiah yang ada padanya, tetapi ia juga menyadari kesadaranya itu , manusia mempunyai kesadaran diri ia menyadati dirinya sebagai pribadi, person yang sedang berkembang

BAB II

PEMBAHASAN

DEFINISI AGAMA , TUHAN, SPIRITUAL, KEPERCAYAAN

A. AGAMA dan PSIKOLOGI AGAMA

Agama berasal dari kata latin religio, yang dapat berarti obligation/kewajiban

Agama dalam Encyclopedia of Philosophy adalah kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup, yakni kepada jiwa dan kehendak ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai hubungan moral dengan umat manusia (James Martineau)[3]

Agama seseorang adalah ungkapan dari sikap akhirnya pada alam semesta, makna, dan tujuan singkat dari seluruh kesadarannya pada segala sesuatu, (Edward Caird)[4]

Agama hanyalah upaya mengungkapkan realitas sempurna tentang kebaikan melalui setiap aspek wujud kita (F.H Bradley)[5]

Agama adalah pengalaman dunia dalam seseorang tentang keTuhanan disertai keimanan dan peribadatan[6]

Jadi agama pertama-tama harus dipandang sebagai pengalaman dunia dalam individu yang mengsugestit esensi pengalaman semacam kesufian, karena kata Tuhan berarti sesuatu yang dirasakan sebagai supernatural, supersensible atau kekuatan diatas manusia. Hal ini lebih bersifat personal/pribadi yang merupakan proses psikologis seseorang[7]

Yang kedua adalah adanya keimanan, yang sebenarnya intrinsik ada pada pengalaman dunia dalam seseorang. Kemudian efek dari adanya keimanan dan pengalaman dunia yaitu peribadatan.[8]

Tidak ada satupun definisi tentang agama (religion) yang dapat diterima secara umum, karena para filsuf, sosiolog, psikolog merumuskan agama menurut caranya masing-masing, menurut sebagian filsuf religion adalah ”Supertitious structure of incoheren metaphisical notion. Sebagian ahli sosiolog lebih senang menyebut religion sebagai ”collective expression of human values”. Para pengikut Karl Marx mendifinisikan Religion sebagai “the opiate of people”. Sebagian Psikolog menyimpulkan religion adalah mystical complex surrounding a projected superego” disini menjadi jelas bahwa tidak ada batasa tegas mengenai agama/religion yang mencakup berbagai fenomena religion.[9]

Menurut Einstein , pada pidato tahun 1939 di depan Princeton Theological seminar, ”ilmu pengetahuan hanya dapat diciptakan oleh mereka yang dipenuhi dengan gairah untuk mencapai kebenaran dan pemahaman, tetapi sumber perasaan itu berasal dari tataran agama, termasuk didalamnya keimanan pada kemungkinan bahwa semua peraturan yang berlaku pada dunia wujud itu bersifat rasional, artinya dapat dipahami akal. Saya tidak dapat membayangkan ada ilmuwan sejati yang tidak mempunyai keimanan yang mendalam seperti itu, ilmu pengetahuan tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu pengetahuan buta[10]

Beragama berarti melakukan dengan cara tertentu dan sampai tingkat tertentu penyesuaian vital betapapun tentative dan tidak lengkap pada apapun yang ditanggapi atau yang secara implicit atau eksplisit dianggap layak diperhatikan secara serius dan sungguh-sungguh (Vergulius Ferm)[11]

Psikologis atau ilmu jiwa mempelajari manusia dengan memandangnya dari segi kejiwaan yang menjadi obyek ilmu jiwa yaitu manusia sebagai mahluk berhayat yang berbudi. Sebagai demikian, manusia tidak hanya sadar akan dunia disekitarnya dan akan dorongan alamiah yang ada padanya, tetapi ia juga menyadari kesadaranya itu , manusia mempunyai kesadaran diri ia menyadati dirinya sebagai pribadi, person yang sedang berkembang , yang menjalin hubungan dengan sesamanya manusia yang membangun tata ekonomi dan politik yang menciptakan kesenian, ilmu pengetahuan dan tehnik yang hidup bermoral dan beragama, sesuai dengan banyaknya dimensi kehidupan insani , psikologi dapat dibagi menjadi beberapa cabang [12]

Kepercayaan dan pengamalannya sangat beragam antara tradisi yang utama dan usaha dalam mendifinisikan agama itu sendiri secara keseluruhan yang sempurna. Agama sendiri menurut bahasa latin berasal dari kata religio, yang dapat di artikan sebagai kewajiban atau ikatan [13]

Menurut Oxford English Dictionary, religion represent the human recognition of super human controlling power, and especially of a personal God or Gods entitle to obedience and worship, agama menghadirkan ‘ manusia yang kehidupannya di kontrol oleh sebuah kekuatan yang disebut Tuhan atau para dewa-dewa untuk patuh dan menyembahnya.

Psikologi agama merupakan bagian dari psikologi yang mempelajari masalah-masalah kejiwaan yang ada sangkut pautnya dengan keyakinan beragama, dengan demikian psikologi agama mencakup 2 bidang kajian yang sama sekali berlainan , sehingga ia berbeda dari cabang psikologi lainnya.[14]

Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi[15]

Psikologi agama tidak berhak membuktikan benar tidaknya suatu agama, karena ilmu pengetahuan tidak mempunyai tehnik untuk mendemonstrasikan hal-hal yang seperti itu baik sekarang atau masa depan, Ilmu pengetahuan tidak mampu membuktikan ketidak-adaan Tuhan, karena tidak ada tehnik empiris untuk membuktikan adanya gejala yang tidak empiris, tetapi sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara empiris bukanlah berarti tidak ada jiwa. Psikologi agama sebagai ilmu pengetahuan empiria tidak menguraikan tentang Tuhan dan sifat-sifatNya tapi dalam psikologi agama dapat diuraikan tentang pengaruh iman terhadap tingkah laku manusia. Psikologi dapat menguraikan iman agama kelompok atau iman individu, dapat mempelajari lingkungan-lingkungan empiris dari gejala keagamaan , tingkah laku keagamaan, atau pengalaman keagamaan , pengalaman keagamaan, hukum-hukum umum tetang terjadinya keimanan, proses timbulnya kesadaran beragama dan persoalan empiris lainnya. Ilmu jiwa agama hanyalah menghadapi manusia dengan pendirian dan perbuatan yang disebut agama, atau lebih tepatnya hidup keagamaan[16]

B. Tuhan/ God/Allah

Menurut Carl Jung (1955) Tuhan adalah sesuatu kekuatan yang berpengaruh besar yang alami dan pengaruhnya tidak dapat di bendung : Very personal nature and an irresistible influence, I call it God

Thomas Van Aquino mengemukakan bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama itu ialah berfikir , manusia berTuhan karena manusia menggunakan kemapuan berfikirnya. Kehidupan beragama merupakan refleksi dari kehidupan berfikir manusia itu sendiri. Pandangan semacam ini masih tetap mendapatkan tempatnya hingga sekarang ini dimana para ahli mendewakan ratio sebagai satu-satunya motif yang menjadi sumber agama[17]

Fredrick Schleimacher berpendapat bahwa yang menjadi sumber keagamaan itu adalah rasa ketergantungan yang mutlak (sense of depend). Dengan adanya rasa ketergantungan yang mutlak ini manusia merasakan dirinya lemah, kelemahan ini menyebabkan manusia selalu tergantung hidupnya dengan suatu kekuasaan yang berada diluar dirinya, berdasarkan rasa ketergantungan ini timbullah konsep tentang Tuhan.

Mengapa manusia ada yang bersifat Atheis , tidak percaya adanya Tuhan, ucapan terkenal sepanjang masa adalah dari seorang yang bernama Nietscshe yang mengatakan “Gott ist Gestorben” Tuhan sudah mati. Paul Vitz yang menceritakan kisah Nietscshe menyampaikan teori kekafiran Nietsche (theory of unbelief) bukan karena perenungan dan penelitian yang sadar , anda tidak percaya kepada agama bukan karena secara ilmah anda menemukan agma itu hanya sekumpulan tahayul, anda menolak agama bukan karena anda alas an rasional ,melainkan fakto psikologis yang tidak anda sadari, Nietsche menolak Tuhan seperti yang diakuinya bukan karena pemikiran tapi karena naluri.[18]

Kematian ayah nya diusia 36 tahun membawa kesedihan yang mendalam pada diri Niersche

Tidak berbeda dengan Nietsche , maka Freud menulis dalam future of an Illusion bahwa gagasan-gagasan agama muncul dari kebutuhan yang sama seperti yang memunculkan pencapaian peradaban lainnya , yakni dari desakan untuk mempertahankan diri melawan kekuatan alam yang lebih perkasa dan menaklukkan (kepercayaan agama hanyalah) ilusi, pemuasan dari keinginan manusia yang paling tua, paling kuat, dan yang paling penting seperti yang kita ketahui, kesan tidak berdaya yang menakutkan pada masa anak-anak membangkitkan kebutuhan akan perlindungan melalui cinta yang diberikan oleh sang Bapa jadi peraturan Tuhan yang maha kuasa dan Maha pengasih menentramkan ketakutan kira akan bahaya kehidupan. Secara singkat pada waktu kecil anak mengidola ayahnya sebagai pelindung dan pemelihara , ketika posisi anak tidak berdaya, setelah dewasa ketika manusia berhadap dengan kekuatan yang maha perkasa, ia kembali ingat kepada ayahnya, lalu ia berilusi tentang Tuhan yang seperti ayahnya , untuk memenuhi kebutuhan seorang ayah ia menciptakan Tuhan Bapak, manusia diciptakan tidak berdasar citra Tuhan , tetapi Tuhan diciptakan berdasar citra manusia.[19]

Bagaimana Freud seorang psikoterapi dan seorang atheis berpendapat unsur kejiwaan yang menjadi sumber keagamaan ialah sexual (naluri seksual). Berdasarkan libido ini timbullah idea tentang ketuhanan, upacara keagamaan setelah melalui proses Oedipus Complex (sebuah mythos Yunani yang menceritakan bahwa karena perasaan cinta kepada ibunya, maka Oedipus membunuh ayahnya, sehingga setelah membunuh ayah timbul rasa bersalah (sense of guilt) pada diri anak-anak itu. Father Image (citra bapak) setelah membunuh timbul rasa bersalah yang kemudian perasaan itu menimbulkan ide membuat suatu cara penebusan dengan memuja arwah ayah yang telah mereka bunuh, Realisasi dari pembawaan itulah menurutnya sebagai asal upacara keagamaan. Sigmund freud yakin akan kebenaran pendapatnya itu berdasarkan kebencian setiap agama terhadap dosa[20]

Seperti Nietscshe , Freud memandang ayahnya sebagai bapak yang lemah, pengecut dan berprilaku sexual yang menyimpang , Ia membenci ayahnya dan selanjutnya membenci Tuhan yang tercipta berdasarkan citra ayahnya, Psikoanalis akhirnya membuang Tuhan sebagai sekadar ilusi kekanak-kanakan, bagi freud agama adalah irasional dan patologi, prilaku yang diperteguh , respons pada situasi yang tak terduga dan pemuasan keinginan kekanak-kanakan[21]

Freud membagi jiwa dalam 3 bagian yang semuanya punya fungsi sendiri-sendiri: Id adalah tempat dorongan naluri (instinct) dan berada dibawah pengawasan proses primer, id bekerja sesuai prinsip kesenangan. Ego (pribadi) tugasnya menghindari ketidak senangan dan rasa nyeri dengan melawan atau mengatur pelepasan dorongan nalurinya agar sesuai dengan tuntutan dunia luar. Ego bekerja sesuai dengan prinsip kenyataan dan mempunyai mekanisme pembelaan seperti represi, salah pindah, rasionalisasi dan lain-lain. Ego mulai terbentuk ketika anak berumur 1 tahun. SuperEgo ajaran dan hukuman yang diletakkan kepadanya oleh orang tua dari luar, dimasukan kedalam superego (internalisasi) yang selanjutnya menilai dam membimbing prilakunya dari dalam, biarpun orang tua tidak ada lagi disampingnya, Superego yang mulai terbentuk umur 5 – 6 tahun membantu ego dalam pengawasan dan pelepasan impuls id, mengadung moral, hatinurani, rasa salah, [22]

C.Spiritual

Definisi spiritual lebih sulit dibandingkan mendifinisikan agama/religion, dibanding dengan kata religion, para psikolog membuat beberapa definisi spiritual, pada dasarnya spitual mempunyai beberapa arti, diluar dari konsep agama, kita berbicara masalah orang dengan spirit atau menunjukan spirit tingkah laku . kebanyakan spirit selalu dihubungkan sebagai factor kepribadian. Secara pokok spirit merupakan energi baik secara fisik dan psikologi, [23]

Menurut kamus Webster (1963) kata spirit berasal dari kata benda bahasa latin ‘Spiritus” yang berarti nafas (breath) dan kata kerja “Spirare” yang berarti bernafas. Melihat asal katanya , untuk hidup adalah untuk bernafas, dan memiliki nafas artinya memiliki spirit. Menjadi spiritual berarti mempunyai ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material. Spiritual merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai makna hidup dan tujuan hidup. Spiritual merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang.[24]

Spiritual dalam pengertian luas merupakan hal yang berhubungan dengan spirit , sesuatu yang spiritual memiliki kebenaran yang abadi yang berhubungan dengan tujuan hidup manusia, sering dibandingkan dengan Sesuatu yang bersifat duniawi, dan sementara, Didalamnya mungkin terdapat kepercayaan terhadap kekuatan supernatural seperti dalam agama , tetapi memiliki penekanan terhadap pengalaman pribadi. Spiritual dapat merupakan eksperesi dari kehidupan yang dipersepsikan lebih tinggi, lebih kompleks atau lebih terintegrasi dalam pandangan hidup seseorang,dan lebih dari pada hal yang bersifat indrawi. Salah satu aspek dari menjadi spiritual adlah memiliki arah tujuan, yang secara terus menerus meningkatkan kebijaksanaan dan kekuatan berkehendak dari seseorang, mencapai hubungan yang lebih dekat dengan ketuhanan dan alam semesta dan menghilangkan ilusi dari gagasan salah yang berasal dari alat indra , perasaan, dan pikiran. Pihak lain mengatakan bahwa aspek spiritual memiliki dua proses , pertama proses keatas yang merupakan tumbuhnya kekuatan internal yang mengubah hubungan seseorang dengan Tuhan , kedua proses kebawah yang ditandai dengan peningkatan realitas fisik seseorang akibat perubahan internal. Konotasi lain perubahan akan timbul pada diri seseorang dengan meningkatnya kesadaran diri, dimana nilai-nilai ketuhanan didalam akan termanifestasi keluar melalui pengalaman dan kemajuan diri, [25]

Apakah ada perbedaan antara spiritual dan religius, spiritualitas ádalah kesadaran diri dan kesadaran individu tentang asal , tujuan dan nasib. Agama ádalah kebenaran mutlak dari kehidupan yang memiliki manifestasi fisik diatas dunia. Agama merupakan praktek prilaku tertentu yang dihubungkan dengan kepercayaan yang dinyatakan oleh institusi tertentu yang dihubungkan dengan kepercayaan yang dinyatakan oleh institusi tertentu yang dianut oleh anggota-anggotanya. Agama memiliki kesaksian iman , komunitas dan kode etik, dengan kata lain spiritual memberikan jawaban siapa dan apa seseorang itu (keberadaan dan kesadaran) , sedangkan agama memberikan jawaban apa yang harus dikerjakan seseorang (prilaku atau tindakan). Seseorang bisa saja mengikuti agama tertentu , namun memiliki spiritualitas . Orang – orang dapat menganut agama yang sama, namun belum tentu mereka memiliki jalan atau tingkat spiritualitas yang sama.[26]

D. FAITH AND BELIEF

Dalam iman , seorang manusia berkeyakinan bahwa ia berhubungan dengan Allah sendiri, Tuhan sendiri tujuan dan isi iman kepercayaan. . Maka dari itu obyek iman bukanlah pengertian-pengertian, gagasan-gagasan atau ide-ide mengenai Tuhan melainkan Tuhan sendiri. Tuhanlah yang dipercayai manusia, Tuhan dalam kepribadian dan dalam manifestasi-manifestasi-Nya. Antara orang yang beriman dengan Tuhan terdapat hubungan pribadi, bagi orang beriman, Tuhan menjadi tujuan hasrat-hasratnya yang intim , tetapi juga sekaligus penolong yang diandalkannya dalam mengejar kesempurnaan eksistensinya. Oleh karena itu tindakan “percaya “merupakan kenyataan yang kompleks. Didalamnya terdapat keyakinan intelektual, ketaatan yang taqwa dan hubungan cinta kasih. Kompleksitas ini bersesuaian dengan majemuknya faham kebapa ilahi[27]

Secara Pskologis kita harus membedakan arti kata iman dan percaya. Kata percaya lebih statis dan tidak menunjukan adanya sikap emosi yang positif terhadap obyek atau ide yang dipercayainya itu. Misalnya kita percaya besok akan hujan, kepercayaan ini tidak selalu disertai adanya kewajiban terhadap kepercayaan itu Lin dengan iman yang bersikap dinamis , kata iman menunjukan adanya kehangatan emosi dan mengandung keharusan-keharusan atau kewajiban-kewajiban sebagai akibat adanya keimanan. Misalnya anda iman kepada Allah ini berarti bukan hanya percaya secara lisan kepadaNya, tapi juga mengandung kesetiaan , kecintaan sebagai implikasi kewajiban kepada si muknin. Kepercayaan bisa menjadi keimanan melalui perkembangan sedikit demi sedikit . Dalam perkembangan ini berperan pengarug orang tua dan lingkungannya. Keimananpun berkembang pula[28]

Keimanan

W.H. Clark membagi taraf perkembangan keimanan seseorang kedalam 4 level:[29]

1. Stimulus response verbalism, pada level ini keimanan hanyalah di bibir (anak-anak), mekanismenya disini seperti orang yang belajar, mereka mengulang-ulang perbuatan yang mendapat hadiah dan menghilangkan kata atau perbuatan yang tercela, kata-kata yang menimbulkan rasa aman akan diulang-ulang oleh si anak, dengan demikian timbul rasa aman, kepercayaan yang hanya dibibir akan dikembangkan oleh anak dengan memasukkan kepercayaan itu dalam dirinya, dan ini sangat pendtin untuk menjadi dasar dan sikapnya dan menjadi pegangan hidup.

2. Intelectual comprehension

Terlihat pada masa remaja, lebih memerlukan intelek dan adanya proses kreatif yang lebih kmpleks dari pada respons bersyarat saja, pikirna dan logika berperan dalam setiap proses keimanan, jiwa mula-mula percaya, timbul kebimbangan, kemudian proses berfikir timbul kepercayaan yang baru atau insight baru sebagai sintesa dari kepercayaan yang ada dan kebimbangan

3. Behavioral demonstration

Pada level ini sebagai akibat kepercayaan yang kuat akan keimanan seorang terlihat dalam timdakannya. Tingkah laku lebih menunjukan kesungguhan adanya keimanan daripada sekedar ucapan-ucapan saja, behavior demonstraton contoh nya pada sufi/mistikus yang teguh imannya

4. Comprehensive integration

Hal-hal yang termasuk ketiga level diatas merupakan penampilan aspek-aspek saja dari pada kepercayaan . Disamping tiu yang lebih dalam ialah yang mencakup ketiga-tiganya menjadi satu kesatuan, baik kata-kata , pemikiran dan juga perbuatan di integrasikan untuk mebentuk satu kesatuan dalam diri individu

BAB III

KESIMPULAN

Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi

Belajar psikologi agama tidak untuk membuktikan agama mana yang paling benar, tapi hakekat agama dalam hubungan manusia dengan kejiwaannya , bagaimana prilaku dan kepribadiannya mencerminkan keyakinannnya

Agama berasal dari kata latin religio, yang dapat berarti obligation/kewajiban

Agama dalam Encyclopedia of Philosophy adalah kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup, yakni kepada jiwa dan kehendak ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai hubungan moral dengan umat manusia (James Martineau)

Menurut Carl Jung (1955) Tuhan adalah sesuatu kekuatan yang berpengaruh besar yang alami dan pengaruhnya tidak dapat di bendung : Very personal nature and an irresistible influence, I call it God

Thomas Van Aquino mengemukakan bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama itu ialah berfikir , manusia berTuhan karena manusia menggunakan kemapuan berfikirnya. Kehidupan beragama merupakan refleksi dari kehidupan berfikir manusia itu sendiri. Pandangan semacam ini masih tetap mendapatkan tempatnya hingga sekarang ini dimana para ahli mendewakan ratio sebagai satu-satunya motif yang menjadi sumber agamaMenurut kamus Webster (1963) kata spirit berasal dari kata benda bahasa latin ‘Spiritus” yang berarti nafas (breath) dan kata kerja “Spirare” yang berarti bernafas. Melihat asal katanya , untuk hidup adalah untuk bernafas, dan memiliki nafas artinya memiliki spirit. Menjadi spiritual berarti mempunyai ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material. Spiritual merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai makna hidup dan tujuan hidup. Spiritual merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang

Kata percaya lebih statis dan tidak menunjukan adanya sikap emosi yang positif terhadap obyek atau ide yang dipercayainya itu.

Iman yang bersikap dinamis , kata iman menunjukan adanya kehangatan emosi dan mengandung keharusan-keharusan atau kewajiban-kewajiban sebagai akibat adanya keimanan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Drs H. Ahmad Fauzi , Psikologi Umum Pustaka setia Bandung, 2004

2. Jalaluddin Rakhmat , Psikologi Agama sebuah pengatar, Mizan 2004

3. Dr. Nico Syukur Dister, Psikologi Agama, penerbit Kanisius,

4. Davic Fontana, Psychology , Religion and spirituality, Bps Blackwell, 2003

5. Endang Saifuddun Anshari M. A. Ilmu , Filsafat dan Agama, Penerbit Bina Ilmu 1979

6. Prof Dr. H. Ramayulis, Psikologi Agama , Kalam Mulia 2004

7. Drs. H. Aziz Ahyadi , Psikologi Agama, Mertiana Bandung

8. Aliah B. Purwakanta Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta



[1] W F. Maramis , Ilmu kedokteran Jiwa, Airlangga university Press, 1980, hal 88

[2] Drs H. Ahmad Fauzi , Psikologi Umum Pustaka setia Bandung, 2004 hal 9

[3] Jalaluddin Rakhmat , Psikologi Agama sebuah pengatar, Mizan 2004 hal50

[4] Ibid hal 51

[5] Ibid hal 50

[6] Drs. Psy H.A. Aziz Ahyadi , Psikologi Agama, pnerbit Martiana Bandung, hal 17

[7] ibid

[8] ibid

[9] H. Endang Saifuddun Anshari M. A. Ilmu , Filsafat dan Agama, Penerbit Bina Ilmu 1979, Hal 111

[10] Ibid hal 53

[11] Ibid hal 51

[12] Dr. Nico Syukur Dister, Psikologi Agama, penerbit Kanisius, hal 9

[13] Davic Fontana, Psychology , Religion and spirituality, Bps Blackwell, 2003, hal 6

[14] Prof Dr. H. Ramayulis, Psikologi Agama , Kalam Mulia 2004 hal1

[15] Ibid hal 5

[16] Drs. H. Aziz Ahyadi , Psikologi Agama, Mertiana Bandung hal 9 - 10

[17] Prof Dr. H Ramayulis , Op cit hal 26

[18] Jalaluddin Rakhmat op cit hal 149

[19] Ibid hal 149 - 150

[20] Ibid hal 28

[21] Jalaluddin Rahmat op cit Hal 152

[22] WE Maramis, Ilmu Kedoteran Jiwa, Airlangga University Press, 1980 hal 37

[23] David Fontana op cit hal 11

[24] Aliah B. Purwakanta Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 288

[25] Ibid ha;l 290

[27] Prof Nico Syukur Dister op cit Hal 126

[28] H. A Aziz Ahyadi op cit hal 21

[29] Ibid hal58 - 59

Tidak ada komentar:

Posting Komentar